Seorang gadis belia mengalami kejadian yang cukup tragis. Di suatu malam ia melihat kedua orang tuanya yang sama-sama pemabuk sedang berebut pistol. Di tengah-tengah perebutan itu, tiba-tiba “Dorrrr……!” dan ayahnya ambruk dengan dada berlumuran darah. Si ibu hanya diam terpekur, si gadis menjerit histeris………….
Akibat kejadian itu, gadis itu mengalami trauma. Ia menjadi suka melamun dan marah-marah tanpa sebab, bahkan sering menyerang orang lain. Agar tidak bertambah parah dan demi keselamatan orang lain, maka gadis itu dibawa ke sebuah panti rehabilitasi mental. Setelah menjalani berbagai pemeriksaan, dokter memutuskan mengajukan terapi katarsis. Suatu terapi yang membebaskan pasien untuk melampiaskan semua gejolak perasaan yang ada dalam dirinya. Agar terapi ini dapat berjalan, maka diperlukan sukarelawan untuk menjadi obyek pelampiasan si pasien. Tentu saja bukan perkara yang mudah untuk mencari sukarelawan ini, tetapi seorang wanita setengah baya menyatakan kesediaannya. Dia tidak lain adalah ibu gadis itu sendiri. Dia mau menjadi sukarelawan sebagai bentuk permintaan maaf dan penyesalannya karena selama ini ia telah menyakiti dan menyia-nyiakan anaknya.
Saat terapi dimulai, ibu dan anak ini berada dalam satu ruangan dan selama satu jam, ibu ini rela menerima semua perlakuan anaknya. Si gadis kadang memaki-maki dengan kata-kata kotor, kadang menendang, kadang menjambak bahkan tidak jarang ia mencakar wajah ibunya. Bila ia sudah melakukan semua hal itu, gadis itu lalu meringkuk di sudut ruangan seperti seekor binatang yang ketakutan. Ibunya dengan menahan rasa sakit yang mendera tubuh dan wajahnya kemudian pelan-pelan mendekati anaknya, memeluknya dan berkata,”Maafkan ibu, Nak. Ibu menyayangimu….”
Hal itu terjadi setiap hari dan setelah beberapa minggu, gadis itu mulai menampakkan kemajuan. Akhirnya setelah satu bulan, gadis itu sembuh namun yang lebih penting lagi adalah pulihnya keharmonisan hubungan antara ibu dan anak ini.
Komentar