Mukjizat adalah keajaiban, sinar kekuatan supranatural yang disuntikkan ke dalam sejarah…
Mukjizat membuat celah di tembok yang memisahkan dunia ini dan dunia yang lain.
(Time, 30 Desember 1991)
Menurut Webster’s Unabridge Dictionary, Edisi Ensiklopedia, mukjizat adalah “sebuah peristiwa atau pengaruh yang tampaknya berlawanan dengan hukum-hukum ilmiah yang dikenal dan karena itu dianggap terjadi oleh penyebab yang supranatural.”
Baik yang megah maupun yang sederhana kebanyakan mukjizat adalah kejadian yang positif, yang terjadi tanpa diduga dan biasanya berada di luar alam kehidupan biasa.
“Jika Anda bisa menjelaskannya itu bukan mukjizat,” kata Betty Malz, penulis Angels Watching Over Me. Penerimanya biasanya merasakan campur tangan sengaja dari Tuhan, merasakan sebuah perubahan, sebuah jawaban.
Di antara banyak agama di dunia, kita menemukan tanggapan yang berbeda-beda mengenai mukjizat. Sebagai contoh, gereja Katholik menerima keberadaannya, tetapi hanya kalau sebuah peristiwa bertentangan dengan hukum-hukum ilmiah yang dikenal. Dan klaim tentang mukjizat tidak mudah dibuktikan. Sebuah kasus dalam hal ini adalah di tempat suci di Lourdes, Perancis. Walaupun telah dilaporkan terjadi ribuan penyembuhan illahi disana, hanya 65 kejadian yang berhasil melewati prosedur ketat Komisi Medis International untuk secara resmi dinyatakan sebagai mukjizat.
Penganut agama Yahudi juga percaya pada mukjizat. “Tuhan tidak tunduk pada hukum-hukum yang Ia ciptakan untuk alam semesta ini,” kata Rabi Simon Greenberg, dalam tulisannya di A Jewish Philosophy and Pattern of Life. “ Ia tetap menjadi Penguasa alam semesta yang tidak tertandingi, yang bisa mengatur alam semesta sesuai kehendak-Nya.”
Namun, iman seseorang tidak boleh tergantung pada mukjizat, kata Rabi Jack Riemer, presiden Greater Miami Rabbinical Association, mewanti-wanti. “Mukjizat adalah hiasan gula di atas kue. Kita bisa berdoa meminta mukjizat, tetapi kita harus bertindak, bekerja dan berbuat seakan-akan mukjizat tidak ada.” Lebih praktisnya, penganut Yahudi lebih suka memusatkan perhatian pada “keajaiban dan mukjizat yang sehari-hari ada di antara kita” – suatu berkat keindahan dalam hal-hal biasa.
Pandangan Islam juga serupa. “Mukjizat diberikan oleh rahmat Allah, Tuhan Yang Esa, bukan melalui kekuatan kita sendiri,” kata Dr. Musa Qutub, ketua Pusat Informasi Islam Amerika . “Kita bisa minta apa saja, karena tidak ada yang mustahil.” Dan dalam meminta itulah iman kita berkembang, “Tidak ada orang yang mengangkat tangannya kepada Allah kembali dengan tangan kosong,” kata Dr. Qutub menjelaskan.
Berbagai denominasi Protestan berbeda pendapat tentang mukjizat. Beberapa percaya bahwa Yesus menyembuhkan orang sakit, melipatgandakan makanan, menyuruh laut tenang dan lain-lainnya hanya untuk mendirikan gerejaNya di dunia dan kemudian keajaiban dari surga seperti itu terhenti. Martin Luther mulanya menyangkal kemungkinan penyembuhan illahi, juga mukjizat-mukjizat lain - walaupun belakangan ia berubah pikiran.
Namun, sebuah dokumen dari Seminari Teologia Fuller tahun 1981, berjudul “Pelayanan dan Hal-hal Mukjizat” membenarkan bahwa sekarang semakin banyak denominasi menerima bahwa di jaman ini pun Tuhan tetap bekerja secara ajaib, walaupun “secara transparan kita harus siap untuk menyerahkan pernyataan kita… pada pengujian empiris yang teliti” untuk berjaga-jaga terhadap pemalsu dan penipu.
Pandangan ini juga diterima oleh orang Kristen yang lebih kharismatis. “Di jaman skeptisme ini, saya sering mendengar orang berkata, ‘Tetapi Tuhan tidak melakukan mukjizat lagi sekarang’,” tulis Harald Bredsen, pendeta dan penulis Need a Miracle? “Saya punya kabar untuk mereka – a good news. Mukjizat yang dilakukan Tuhan tidak berkurang!” Mungkin manusia sendirilah yang menghambat kemungkinan terjadinya mukjizat, atau dalam hal ini, jawaban doa-doa, kata Bredsen,”dengan secara sadar atau tidak sadar memandang Tuhan terlalu sempit, memandangnya dalam keterbatasan kemanusiaan kita sendiri.”
Bisakah kita “membuktikan” mukjizat? Biasanya tidak. Bahkan walaupun keadaannya tampak menakjubkan, pada akhirnya seringkali si pelaku itu sendiri yang harus menentukan apakah itu mukjizat atau bukan. Akan tetapi kadang-kadang kita mengenali mukjizat dari reaksi kita – mungkin melalui getaran halus di dada kita, air mata yang tiba-tiba merembes keluar atau hati kita terangkat dalam respons tanpa kata. Mukjizat juga bisa diidentifikasikan dengan adanya perubahan positif yang mendalam di hidup kita setelah kejadian itu berlalu.
Tulisan di atas saya kutip dari buku Joan Wester Anderson yang berjudul “Ketika Mukjizat Terjadi” diterbitkan oleh penerbit Interaksara. Penulis Bestseller New York Times ini mengumpulkan berbagai kisah mukjizat yang terjadi, diantaranya : kisah seorang ibu miskin memberi makan anak-anaknya selama seminggu dari panci yang secara misterius terus terisi makanan, seorang malaikat melindungi seorang remaja dari teror di gudang jerami, seorang paramedis yang menangani kecelakaan di tempat terpencil tiba-tiba menemukan peralatan medis yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa.
So, Mukjizat masih terjadi.....
Baik yang megah maupun yang sederhana kebanyakan mukjizat adalah kejadian yang positif, yang terjadi tanpa diduga dan biasanya berada di luar alam kehidupan biasa.
“Jika Anda bisa menjelaskannya itu bukan mukjizat,” kata Betty Malz, penulis Angels Watching Over Me. Penerimanya biasanya merasakan campur tangan sengaja dari Tuhan, merasakan sebuah perubahan, sebuah jawaban.
Di antara banyak agama di dunia, kita menemukan tanggapan yang berbeda-beda mengenai mukjizat. Sebagai contoh, gereja Katholik menerima keberadaannya, tetapi hanya kalau sebuah peristiwa bertentangan dengan hukum-hukum ilmiah yang dikenal. Dan klaim tentang mukjizat tidak mudah dibuktikan. Sebuah kasus dalam hal ini adalah di tempat suci di Lourdes, Perancis. Walaupun telah dilaporkan terjadi ribuan penyembuhan illahi disana, hanya 65 kejadian yang berhasil melewati prosedur ketat Komisi Medis International untuk secara resmi dinyatakan sebagai mukjizat.
Penganut agama Yahudi juga percaya pada mukjizat. “Tuhan tidak tunduk pada hukum-hukum yang Ia ciptakan untuk alam semesta ini,” kata Rabi Simon Greenberg, dalam tulisannya di A Jewish Philosophy and Pattern of Life. “ Ia tetap menjadi Penguasa alam semesta yang tidak tertandingi, yang bisa mengatur alam semesta sesuai kehendak-Nya.”
Namun, iman seseorang tidak boleh tergantung pada mukjizat, kata Rabi Jack Riemer, presiden Greater Miami Rabbinical Association, mewanti-wanti. “Mukjizat adalah hiasan gula di atas kue. Kita bisa berdoa meminta mukjizat, tetapi kita harus bertindak, bekerja dan berbuat seakan-akan mukjizat tidak ada.” Lebih praktisnya, penganut Yahudi lebih suka memusatkan perhatian pada “keajaiban dan mukjizat yang sehari-hari ada di antara kita” – suatu berkat keindahan dalam hal-hal biasa.
Pandangan Islam juga serupa. “Mukjizat diberikan oleh rahmat Allah, Tuhan Yang Esa, bukan melalui kekuatan kita sendiri,” kata Dr. Musa Qutub, ketua Pusat Informasi Islam Amerika . “Kita bisa minta apa saja, karena tidak ada yang mustahil.” Dan dalam meminta itulah iman kita berkembang, “Tidak ada orang yang mengangkat tangannya kepada Allah kembali dengan tangan kosong,” kata Dr. Qutub menjelaskan.
Berbagai denominasi Protestan berbeda pendapat tentang mukjizat. Beberapa percaya bahwa Yesus menyembuhkan orang sakit, melipatgandakan makanan, menyuruh laut tenang dan lain-lainnya hanya untuk mendirikan gerejaNya di dunia dan kemudian keajaiban dari surga seperti itu terhenti. Martin Luther mulanya menyangkal kemungkinan penyembuhan illahi, juga mukjizat-mukjizat lain - walaupun belakangan ia berubah pikiran.
Namun, sebuah dokumen dari Seminari Teologia Fuller tahun 1981, berjudul “Pelayanan dan Hal-hal Mukjizat” membenarkan bahwa sekarang semakin banyak denominasi menerima bahwa di jaman ini pun Tuhan tetap bekerja secara ajaib, walaupun “secara transparan kita harus siap untuk menyerahkan pernyataan kita… pada pengujian empiris yang teliti” untuk berjaga-jaga terhadap pemalsu dan penipu.
Pandangan ini juga diterima oleh orang Kristen yang lebih kharismatis. “Di jaman skeptisme ini, saya sering mendengar orang berkata, ‘Tetapi Tuhan tidak melakukan mukjizat lagi sekarang’,” tulis Harald Bredsen, pendeta dan penulis Need a Miracle? “Saya punya kabar untuk mereka – a good news. Mukjizat yang dilakukan Tuhan tidak berkurang!” Mungkin manusia sendirilah yang menghambat kemungkinan terjadinya mukjizat, atau dalam hal ini, jawaban doa-doa, kata Bredsen,”dengan secara sadar atau tidak sadar memandang Tuhan terlalu sempit, memandangnya dalam keterbatasan kemanusiaan kita sendiri.”
Bisakah kita “membuktikan” mukjizat? Biasanya tidak. Bahkan walaupun keadaannya tampak menakjubkan, pada akhirnya seringkali si pelaku itu sendiri yang harus menentukan apakah itu mukjizat atau bukan. Akan tetapi kadang-kadang kita mengenali mukjizat dari reaksi kita – mungkin melalui getaran halus di dada kita, air mata yang tiba-tiba merembes keluar atau hati kita terangkat dalam respons tanpa kata. Mukjizat juga bisa diidentifikasikan dengan adanya perubahan positif yang mendalam di hidup kita setelah kejadian itu berlalu.
Tulisan di atas saya kutip dari buku Joan Wester Anderson yang berjudul “Ketika Mukjizat Terjadi” diterbitkan oleh penerbit Interaksara. Penulis Bestseller New York Times ini mengumpulkan berbagai kisah mukjizat yang terjadi, diantaranya : kisah seorang ibu miskin memberi makan anak-anaknya selama seminggu dari panci yang secara misterius terus terisi makanan, seorang malaikat melindungi seorang remaja dari teror di gudang jerami, seorang paramedis yang menangani kecelakaan di tempat terpencil tiba-tiba menemukan peralatan medis yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa.
So, Mukjizat masih terjadi.....
Komentar
pasti mujikzat terus datang